Sudah hampir tiga tahun sejak gas air mata ditembakkan ke tribun Stadion Kanjuruhan, Malang. Lebih dari 135 nyawa melayang, ratusan lainnya luka, dan ribuan keluarga hancur. Tetapi hari ini, luka itu tidak pernah benar-benar diobati. Yang terjadi hanya penutupan luka secara kosmetik, sekadar agar liga jalan lagi, stadion direnovasi, dan Arema kembali berlaga. Padahal, apa yang hilang bukan sekadar pertandingan tapi nyawa manusia. Sekali lagi, NYAWA. MANUSIA.

Keadilan bagi korban Tragedi Kanjuruhan belum tuntas. Hukuman yang dijatuhkan ke panitia pelaksana atau segelintir aparat hanya serpihan kecil dari tanggung jawab besar. Mahkamah Agung memang memperberat hukuman sebagian terdakwa, tapi publik tahu, banyak aktor besar di balik tragedi ini masih aman. PSSI, PT LIB, Pemkab Malang sebagai pengelola stadion, dan terutama Polri sebagai eksekutor gas air mata, belum benar-benar ditarik ke kursi terdakwa.

Mari bicara fakta, FIFA Stadium Safety and Security Regulations Pasal 19(b) dengan tegas melarang penggunaan gas pengendali massa di stadion. “No firearms or crowd control gas shall be carried or used.” Aturan ini jelas, gamblang, tanpa ruang tafsir. Tapi malam itu, gas air mata ditembakkan bertubi-tubi ke arah tribun yang penuh dengan keluarga, anak-anak, perempuan. Akibatnya, penonton panik, pintu sempit jadi jebakan, dan orang-orang terinjak hingga tewas. Itu bukan sekadar pelanggaran regulasi sepak bola, itu adalah kejahatan negara terhadap warganya.

Dan di sini letak masalah paling besar, Tragedi Kanjuruhan bukan murni tragedi sepak bola. Ini adalah tragedi politik, tragedi negara. Aparat kepolisian menggunakan kekerasan mematikan terhadap rakyat sipil yang seharusnya mereka lindungi. Pemerintah membiarkan stadion tak memenuhi standar. PSSI dan PT LIB menutup mata pada risiko laga Arema vs Persebaya, padahal rivalitas ini sudah lama digolongkan high risk match. Semua pihak tahu bahayanya, tapi semua abai.

Bandingkan dengan Tragedi Hillsborough 1989 di Inggris, ketika 97 suporter Liverpool tewas terhimpit di stadion Sheffield. Saat itu, publik Inggris menolak lupa. Selama puluhan tahun, keluarga korban berjuang menuntut keadilan. Investigasi ulang akhirnya dilakukan, pihak kepolisian diadili, dan pemerintah resmi meminta maaf. Hillsborough bukan hanya duka, tapi menjadi batu pijakan reformasi total manajemen stadion dan pengamanan pertandingan di Inggris. Sejak itu, tragedi sebesar itu tidak pernah terjadi lagi di sana.

Sementara di Indonesia? Setelah Kanjuruhan, sepak bola jalan lagi seolah normal. Klub kembali berkompetisi, suporter bernyanyi dan melompat, sebagian masyarakat bahkan meminta “move on saja.” Inilah yang membuat luka semakin perih. Ada yang berusaha melupakan, sementara keluarga korban masih menunggu kepastian restitusi, masih mendatangi sidang, masih menghadapi trauma setiap malam. Kita seolah dipaksa untuk percaya bahwa ini hanyalah “kecelakaan,” bukan pembunuhan massal akibat kelalaian dan kesewenang-wenangan aparat.

Jika tragedi ini hanya ditutup dengan renovasi stadion dan segelintir hukuman ringan, maka tidak ada jaminan hal serupa tidak akan terjadi lagi. Nyawa manusia di Indonesia masih bisa ditukar dengan kepentingan jadwal liga, dengan ego institusi keamanan, dengan kelalaian pejabat.

Tragedi Kanjuruhan bukan soal rivalitas Arema vs Persebaya. Bukan soal sepak bola semata. Ini soal bagaimana aparat negara dengan enteng menembakkan gas air mata ke rakyatnya sendiri, lalu membiarkan mereka mati berdesakan di pintu sempit. Ini soal pemerintah yang gagal menegakkan standar keamanan. Ini soal kesadaran kita sebagai bangsa, apakah nyawa rakyat akan selalu semurah ini?

Kita tidak boleh melupakan Kanjuruhan. Karena melupakan berarti membuka pintu bagi tragedi berikutnya. Luka ini tidak boleh ditutup rapat-rapat. Luka ini harus diobati dengan keadilan, dengan kebenaran, dengan reformasi. Jika tidak, maka sejarah akan berulang, dan darah rakyat akan kembali tumpah hanya karena negara tak pernah belajar.

Visual : Ahmad Roshwan

COMMENTS