Pertandingan PSIM melawan Arema akan segera tersaji pada pekan kedua Super League musim 2025/2026. Laga ini menjadi catatan sejarah dengan kembalinya PSIM bermain di Stadion Sultan Agung, setelah terakhir kali menggelar pertandingan resmi pada tahun 2019.

Pertemuan melawan Arema menghadirkan nuansa nostalgia sekaligus warna baru bagi sepak bola nasional, khususnya di Yogyakarta, pasca insiden memilukan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Tragedi tersebut meninggalkan duka mendalam bagi dunia sepak bola Indonesia. Di Tanah Mataram, peristiwa itu memicu kesadaran kemanusiaan yang besar.

Salah satu wujudnya adalah pernyataan sikap untuk mengakhiri permusuhan antara suporter PSIM, PSS Sleman, dan Persis Solo yang kini dikenal dengan sebutan Mataram Islah. Mereka sepakat berdamai, mengakhiri rivalitas, sekaligus mengawal kasus tragedi Kanjuruhan yang menimpa Aremania. Bagi suporter PSIM, hubungan dengan Aremania sebenarnya terjalin cukup dekat. Hal ini terlihat dari kebiasaan saling bersilaturahmi dan membantu, seperti saat Aremania mengalami bentrokan dengan suporter PSS Sleman, atau ketika PSIM mendapat bantuan dari Aremania saat terjadi insiden di Kediri.

Puncaknya, PSIM pernah menggelar malam doa bersama di Stadion Mandala Krida, memberikan bantuan kepada Aremania, serta menghadirkan perwakilan mereka sebagai pembicara dalam acara yang penuh hikmah tersebut. Tragedi Kanjuruhan membuat kompetisi terhenti, padahal liga baru berjalan beberapa pekan. Liga 2 bahkan baru memasuki pekan keempat. Dari pihak suporter PSIM, penghentian liga tidak menjadi masalah. Bagi kami, keselamatan dan keadilan jauh lebih penting, sebagaimana yang pernah kami alami pada 2006.

Saat itu, PSIM memilih mundur dari kompetisi setelah gempa bumi besar mengguncang Yogyakarta. Keputusan tersebut menjadi bentuk tanggung jawab dan empati manajemen PSIM terhadap para korban, karena tidak mungkin bermain di tengah situasi darurat dan penderitaan warga.

Komunitas suporter PSIM, bersama para musisi lokal, terus menyuarakan tuntutan agar tragedi Kanjuruhan diusut tuntas. Bantuan untuk keluarga korban juga diberikan, sementara di media sosial tagar #JusticeFor135 dan #UsutTuntasTragediKanjuruhan terus digaungkan. Kami sepakat bahwa kompetisi hanya layak digelar kembali setelah proses hukum berjalan transparan dan tuntas.

Namun, perjuangan kami menyuarakan kebenaran berbuah kekecewaan mendalam. Arema FC, yang dinilai turut menjadi bagian dari penyebab tragedi, justru memenjarakan rombongan Aremania yang masih peduli dengan tragedi termasuk Sam Ambon yang berunjuk rasa di depan kantor Arema. Mereka menuntut manajemen mundur dari kompetisi, mengawal proses hukum, dan mendampingi korban hingga benar-benar pulih secara fisik, psikologis, dan hak-haknya terpenuhi.

Sehari setelah demo didepan kantor arema , salah satu tokoh Arema di era perserikatan menyatakan bahwa “logo Arema tidak bersalah”. Pernyataan tersebut membuat banyak pihak, termasuk kami, merasa geram. Selama mengikuti perkembangan dualisme Arema FC dan Arema Indonesia, terlihat bahwa Arema FC selalu berlindung di balik statusnya sebagai klub kasta tertinggi liga. Hal ini menjadi alasan mereka enggan mundur dari kompetisi.

Sanksi ringan dari PSSI membuat klub tersebut dengan mudah kembali bermain tanpa hukuman berat seperti diskualifikasi. Hal ini membuat para suporter, khususnya di Yogyakarta, sadar bahwa klub ini dan sebagian pendukungnya tampak tidak memiliki empati mendalam terhadap dampak meninggalnya 135 orang dalam tragedi Kanjuruhan. Reaksi suporter PSIM kemudian terlihat pada lanjutan Liga 1 musim 2023/2024, ketika Arema berencana bermarkas di Stadion Sultan Agung.

Rencana itu mendapat penolakan tegas dari suporter PSIM, yang saat itu dipimpin langsung oleh Presiden Brajamusti. Penolakan itu bukan sekadar sikap emosional, melainkan bentuk konsistensi atas prinsip yang selama ini kami pegang: sepak bola tidak boleh dijalankan di atas luka yang belum sembuh. Memainkan laga di Stadion Sultan Agung dengan Arema sebagai tuan rumah hanya akan mengusik rasa keadilan yang masih kami perjuangkan.

Bagi kami, tragedi Kanjuruhan adalah garis merah yang tidak bisa dinegosiasikan. Sebagai suporter, kami bukan hanya penonton di tribun yang bersorak ketika tim mencetak gol. Kami adalah bagian dari denyut kehidupan sepak bola itu sendiri, yang punya suara dan hati nurani. Ketika 135 nyawa melayang karena kelalaian dan buruknya manajemen pertandingan, maka kemarahan dan kekecewaan kami adalah wajar.

Pertandingan PSIM kontra Arema musim ini akan menjadi ujian, bukan hanya bagi kedua tim, tetapi juga bagi wajah sepak bola Indonesia secara keseluruhan. Kami ingin membuktikan bahwa sepak bola Yogyakarta tidak kehilangan arah, bahwa kami masih menempatkan nilai kemanusiaan di atas euforia kemenangan. Kemenangan sejati bagi kami bukanlah tiga poin di papan klasemen, melainkan ketika semua pihak yang bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan benar-benar diadili, ketika keluarga korban mendapatkan pemulihan yang layak, dan ketika stadion kembali menjadi tempat yang aman bagi siapa pun yang mencintai sepak bola.

Visual : Ahmad Roshwan Fikri

COMMENTS