Sebuah Catatan dari Kota Penuh Kerinduan

Saya selalu percaya bahwa Yogyakarta adalah kota yang istimewa. Tidak hanya karena status administratifnya sebagai Daerah Istimewa, tetapi juga karena suasana batin yang ditawarkan kota ini. Yogyakarta adalah kota yang lembut, ramah, dan (konon katanya) penuh kerinduan. Tapi kini, kerinduan itu makin sering datang dalam bentuk suara klakson, deru knalpot, dan aroma asap kendaraan yang makin pekat. Yogyakarta yang dulu tenang, kini pelan-pelan disulap jadi miniatur Jakarta yang padat, semrawut, dan tentu saja, macet.

Salah satu ironi terbesar yang saya rasakan sebagai warga adalah kehadiran TransJogja, sistem transportasi umum yang seharusnya menjadi penyelamat dari bencana kemacetan, justru belum bisa menjawab keresahan masyarakat. Bahkan dalam beberapa aspek, ia malah terlihat kalah bersaing dengan motor, mobil pribadi, hingga ojol yang makin menjamur. Padahal, harapan besar dulu pernah disematkan ke pundaknya.

Harapan Besar Bernama TransJogja

TransJogja pertama kali mengaspal tahun 2008, diiringi euforia warga dan dukungan besar dari pemerintah. Formatnya mengadopsi sistem Bus Rapid Transit (BRT), yang dianggap lebih terstruktur, terjadwal, dan mampu mengurangi beban lalu lintas. Awalnya, TransJogja berjalan cukup mulus. Unitnya bersih, sopirnya ramah, dan harga tiketnya murah. Tapi, seperti cinta pertama yang gagal dipertahankan, semangat itu perlahan luntur.

Salah satu masalah utama dari TransJogja adalah persoalan rute dan waktu tunggu. Banyak halte yang tidak strategis, tidak terhubung dengan kawasan padat penduduk atau kampus, dan waktu tunggunya bikin frustrasi. Bayangkan, ada yang harus menunggu lebih dari 30 menit hanya untuk naik bus ke tujuan yang sebenarnya bisa ditempuh 15 menit pakai motor. Logikanya jadi aneh, kenapa harus memilih sesuatu yang lebih lama, lebih ribet, dan belum tentu nyaman?

Realitas Kota yang Semakin Padat

Saya tidak sedang membesar-besarkan. Menurut data dari Dinas Perhubungan DIY, jumlah kendaraan di Yogyakarta meningkat signifikan setiap tahunnya. Pada 2023, lebih dari 2,5 juta kendaraan bermotor terdata di DIY, dan lebih dari 74 persen di antaranya adalah sepeda motor. Angka yang masif ini sangat tidak seimbang dengan panjang dan kapasitas jalan yang tersedia.

Ditambah lagi, Jogja bukan cuma milik warganya. Kota ini menjadi magnet wisatawan dan mahasiswa dari berbagai daerah. Musim liburan dan musim wisuda menjadi mimpi buruk bagi pengguna jalan. Jalan-jalan utama seperti Malioboro, Jalan Kaliurang, dan ring road utara selalu padat, bahkan pada hari kerja. Ketika kota makin penuh, dan transportasi umum tidak menarik, ya wajar kalau semua orang kembali memilih kendaraan pribadi.

Yogyakarta, yang dulu bisa ditempuh dari utara ke selatan dalam waktu kurang dari 45 menit, kini sering memakan waktu hampir dua jam. Ironisnya, meski sudah ada TransJogja lebih dari satu dekade, kontribusinya terhadap pengurangan kemacetan masih bisa dibilang minim. Ini bukan karena TransJogja tidak penting, tapi karena tidak pernah benar-benar diprioritaskan sebagai bagian utama dari sistem transportasi kota.

Tantangan Nyata Transportasi Umum Jogja

Saya pernah ngobrol dengan seorang sopir TransJogja yang sudah belasan tahun bekerja. Ia menitipkan sebuah pesan, "Sebenarnya banyak yang pengin naik bus, tapi ya seringnya nunggu kelamaan, jalurnya muter-muter, dan nggak jelas sampai jam berapa.".

Ucapan itu sederhana, tapi menggambarkan dengan pas persoalan TransJogja. Transportasi umum di Jogja tidak hadir sebagai solusi yang lebih baik dari kendaraan pribadi. Ia masih kalah dari segi fleksibilitas, kecepatan, dan kenyamanan.

Mahasiswa lebih suka naik ojol karena bisa langsung sampai ke titik tujuan tanpa transit atau berjalan jauh dari halte. Karyawan kantor lebih memilih bawa motor sendiri karena bisa berangkat mepet dan tetap on time. Bahkan para wisatawan pun sekarang lebih mengandalkan aplikasi sewa mobil atau motor untuk eksplor Jogja tanpa perlu pusing memikirkan jadwal bus.

Satu hal yang sering saya pikirkan: apakah TransJogja memang didesain untuk digunakan secara massal, atau hanya sebagai formalitas bahwa kota ini punya transportasi umum? Karena jika benar-benar ingin menjadikan bus sebagai pilihan utama warga, maka perencanaan infrastrukturnya seharusnya jauh lebih ambisius. Misalnya, integrasi dengan sepeda dan jalur pejalan kaki, frekuensi keberangkatan yang lebih tinggi, halte yang terhubung dengan kawasan pemukiman, hingga rute-rute baru yang menjangkau pinggiran kota.

Perbaikan yang Niat atau Formalitas?

Belakangan memang ada tanda-tanda perbaikan. TransJogja mulai mengganti sebagian armadanya dengan bus ramah difabel, mulai menggunakan kartu pelajar digital dengan tarif sangat murah, dan menjalin integrasi dengan KRL di beberapa titik. Tapi persoalannya tetap kembali ke dasar, seberapa besar political will untuk benar-benar mengubah wajah transportasi Jogja?

Banyak orang mengira solusi kemacetan adalah pelebaran jalan atau pembangunan flyover. Tapi itu hanya akan jadi solusi sesaat. Dalam teori transportasi, pelebaran jalan justru bisa memicu peningkatan jumlah kendaraan (induced demand). Yang paling masuk akal justru membatasi kendaraan pribadi, meningkatkan kualitas dan daya tarik transportasi publik, serta membangun budaya kolektif yang lebih ramah lingkungan.

TransJogja harus berani berubah. Bukan hanya berbenah dari segi teknis, tapi juga menjadi bagian dari kampanye besar tentang pentingnya berpindah dari kendaraan pribadi ke moda transportasi umum. Pemerintah harus hadir, bukan hanya lewat regulasi, tapi juga lewat insentif dan kebijakan yang berpihak pada transportasi berkelanjutan.

Kota Kenangan atau Kota Kejebak Macet?

Saya tidak ingin kehilangan Yogyakarta yang saya kenal dulu. Kota ini punya potensi luar biasa untuk menjadi contoh kota kecil yang nyaman, manusiawi, dan ramah lingkungan. Tapi semua itu butuh komitmen besar dan kesadaran kolektif. Kita harus berani jujur bahwa kemacetan ini bukan hanya soal banyaknya kendaraan, tapi juga soal pilihan yang tidak tersedia.

TransJogja adalah simbol dari pilihan itu. Ia bisa jadi alternatif, bisa jadi penyelamat, atau malah terus jadi penonton. Semua tergantung bagaimana kita sebagai warga dan pemerintah melihat perannya. Jika TransJogja terus berjalan dengan format lama, dengan perbaikan tambal sulam, maka jangan salahkan siapa-siapa kalau Jogja perlahan-lahan kehilangan pesonanya.

Kerinduan yang dulu hadir karena tenangnya kota ini, jangan sampai berganti menjadi nostalgia semu yang hanya bisa dikenang dari balik kaca mobil yang terjebak di lampu merah. Karena kota yang penuh kenangan, mestinya juga penuh kenyamanan.

Dan untuk saat ini, maaf, saya belum bisa bilang TransJogja adalah jawaban dari keresahan itu.

Penulis : Janu

Visual : Ali Imron

COMMENTS